Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tampilkan postingan dengan label prosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prosa. Tampilkan semua postingan

22 November 2011

Padang Bulan di Pantai Panjang



Dear, Ana...

Bulan merah jambu yang kubawa dari pantaimu kuletakan baik-baik di atas rumahku; sedikit arakan dari awan membuatnya lebih merah tersanding langit hitam tak bertepi. Seusai hujan petang, kuhirup dalam- dalam: harum tanah yang pernah kupijak dari penjemputanmu sampai ke pasir yang kau gurat bibirnya yang mencium matahari tenggelam.
Petang itu kau datang. Tak sabarku kau bawa akhirnya ke pantai. Setibanya, kau ajak pepasir tuk bicara diam-diam; kulihat ada yang hendak kau pendam dekat sebatang pohon yang tumbang dimana ombak dari kakiku tak bisa diam menggali rasa penasaran. Matahari tika itu enggan pejam warnanya di atas laut yang biru.
Dari jauh kuterpaku, memandangmu yang membisu. Seorang nelayan yang sendirian dengan jalanya, setengah dadanya tenggelam masih bertahan mencari harapan --dekat sebuah perahu karam yang jelas sekali rusuk- rusuknya. Kau mengalihkan perhatianku untuk mendekati mereka, dan kau banyak bertanya padanya tentang apa yang telah didapatnya --sebelum kududuk bermuram di geladak perahu yang kosong. Seekor ikan yang berhasil lepas dari jala, kita temukan sedang bertahan di atas pasir ketika tiba saatnya kita hendak pulang. Kau masih ingatkah itu semua?
Oktober itu memberi cerita dari antara pengalan musim semi dan hujan yang kita jumput di Pantai Panjang -- yang katamu pasirnya putih-menawan dan lincah ombak- ombaknya. sesaat ketika kita titipkan jejak pulang, kumenoleh ke belakang, mencari di mana kau letakan sebatang ranting yang telah kau jadikan ia sebagai kuas yang kering untuk melukis dan menulis pada pepasir; kumenyangka: ombak telah berhasil mendapatkan penasarannya yang terbantu bulan yang suam.
Di sana tak ada camar, di sana sedikit sekali orang- orang. Pantai itu membuat longgar pikiranku akan sepi yang bisa kutuang kapan saja sepenuh hati --selaksa ombak berkata bergulung-gulung melewati garis pantai dan merangkum jejak-jejak kita. Petang itu kurapal baik-baik --meski tak kuingat kapan sebatang ranting yang kau lepas digenggam ombak kemudian.

25 Februari 2011

Kesunyian



Kurasa ada yang mendekat ke pembaringannya semalam entah sesosok apa. Sudah empat hari ia memang tak lelap tidurnya. Sudah lama juga bayangnya tak beranjak dari tempatnya. Igau, tangis, ratap, takut, kurasa hadir di sekelilingnya. Pikirannya entah di mana, juga hatinya yang tiba jadi manja. Mungkinkah ada sesosok atau malaikat yang kerap disebutnya sedang mendekat ke telinganya? Aku tak tahu. Mungkin kulit yang tipis dan rentan itu dapat menjawab tanyaku.

Tapi ia tetap memanggilku, mencengkram tanganku. Kuat sekali. Sekuat cengkraman seorang bayi.

(Ia ingin kutemani)

Suaranya yang kian parau, seperti dahaganya telah lama tak dibasuh kopi kegemarannya. Ia haus. Ia ingat itu. Tapi ia menginginkan susu malam ini. Kopinya sedikit saja, katanya.

Lalu pada gelas kesukaannya, aku tuangkan air hanya setengah dari tingginya, juga hanya semu-semu hangat airnya--sebab aku tahu lidah yang memutih itu hanya mau sekedarnya saja. Dan aku menyuapinya. Sembilan sendok yang sanggup ia teguk. Cukup, katanya. Gelas masih dalam genggamanku. Bias bulan menyelinap lewat jendela kamarnya.

Kupandang tirai coklat yang bergoyang; seekor cicak sedang berjaga-jaga di sana--meski tak kurasa ada nyamuk mengganggu kami di kamar hening ini.

"Kamu tidak pergi? Sudah siang begini kok tidak jualan?" lirihnya dengan batuk-batuk dan pandangannya menyempit.

Ada yang mengganggunya acapkali ia bicara. Masih kulihat kabut di matanya mengkatup. Nyala lampu tak beda bagai matahari dalam pandangannya. Bulan sudah meninggi malam ini.

Pukul dua sudah lewat. Embun-embun siap melukis dedaunan. Tapi tak lama berselang, gerimis menghapusnya, dan bau tanah pun menguap. Cicak di jendela kaca berlari lalu mengumpat di balik lukisan alam--yang menampakan jelas seorang yang termenung di bawah pohon di tepian danau itu--lalu memandang bapak yang nafasnya berubah sesak karna udara lembab sudah merambahi kakinya.

"Dingin," kata bapak dengan suara serak.

Ya, dingin sekali, Pa, kata hatiku. Aku melapisi lagi selimut yang tebal itu dengan sarung kesayanganku.

Hujan malam ini berhenti pada pukul tiga. Pada langit-langit kamar tampak sebuah lukisan seperti dari bongkahan es yang mencair, serupa tetesan air dari stalaktit dalam gua yang kosong dan hening. Beberapa laron bagai musafir yang tertahan di luar jendela mengetuk-ngetuk memanggil cahaya, seolah sanggup sayapnya memecahkan kaca. Nyala lampu begitu kuat menarik segala perhatian, juga seekor cicak yang dengan sekuat tenaga menghentakan ekornya--isyarat tak sabar untuk menyambutnya.

"Iya. Tunggu. Tungguuu. Iya... Di situ. Di situ ajaaa, ya?" ucap bapak tiba-tiba entah pada siapa. Matanya tertutup. Tapi tak lama ia membukanya dan menoleh ke samping kiri-kanannya.

Ia tidak melihatku. Ia kerap seperti itu. Bukan! Bukan karna matanya yang telah kabur. Tapi seolah jiwanya telah entah ada di mana.

Aku hanya terdiam. Mengusap bahunya, tapi ia tak merasa; menawarkan ini-itu tapi ia tak menghiraukannya. Sesekali kuusap dadanya dan kuberi doa-doa. Sesekali mata berkabut itu terbuka--bicara padaku. Kami bicara dari hati ke hati dengan degup jantung yang di catat Malaikat.

05 Mei 2010

Alunan Sunyi (2)

Aku ingat suatu hari saat musim bersemi, saat dimana fajar menampakan wajahnya; lukisan merah senja kecil dan sesuatu yang terbawa angin: debu-debu mencemari wewarna kasat mata hingga kelopak-kelopak tak tegar berhamburan sebelum idam bunga; mawar di musim panas terjilat bara serupa bunga api di atas perkamen yang tipis; lily terkepung ilalang menjadi cela di musim dingin; teratai di air hambar, juga dahlia yang hilang krisnanya. Segala yang merekah bersama panas-hujan dipetik buah bibir seadanya, menjadi guratan sembarang kuas pada kanvas kehidupan.

Pagi sejenak indah, pelangi hilang jubahnya. Sayup cericit burung kematian kudengar terjerat akaran beringin yang suluk ingin menyentuh tanah, seolah pertaruhan tadi malam berakhir dilagukan burung hantu, sebab kulihat bulan purna semalam setelah dilintasi sepasang sosok ringan bekejaran menuju sebrang taman. Juga suara sayat yang mengibaskan kerambu tidurku saat mata dan telinga hendak mengasah mimpi dan menajamkan doa.



(10 November 2009)

Alunan Sunyi (1)

Kau berdiri di sana, di atas linjak yang tak lagi asing kurasakan, menyondong badan menghadap selatan memagut bulan di langit sedikit terang kebiruan laut dan putih awan, begitu juga ke arah sesosok pulau kelam tempat karamnya pengaduan yang selalu menggema tanya, seperti terjal tebing di atas tumpukan karang tempat lelawa bersarang memekikan telinga, dimana kabut dinginnya turun ke kaki perbukitan lalu merayap pelan ke sendi-sendi pinggang sampai ke tengkuk leher, sampai kau biarkan hawa dingin teresapi tulang sulbi, sebab separuh hati telah pergi, seiring wajahmu beku tak lenyapkan haru.

Kau kini bagai pawang, dengan lemah menundukkan mata angin sampai rambutmu berpusar jelas di ubun kepala dan segera menjadi badai yang kan kau lepaskan dengan lantang bak auman singa raja ke tengah hutan liar peradaban, tempat keliaran yang kerap menerkammu dari belakang, guna menjinakan segala yang tergelar di mata dengan sorotan memusat ke kalbu, meski sekejap terlihat kaku bagai dalang yang menjiwai bayang setengah mati.

Hela nafasmu meranggas cepat menyusuri jalur nadi, seperti ingin cepat memanjat pohon jati untuk menambat tali jebakan kemudian menumbangkan lawan, meski kebiasanmu pada akhirnya hanya diam dan memberi kesempatan berkali-kali, bagai gunung merapi yang selalu tahan panas perut bumi sampai mereka keluar dari pulaumu yang sunyi.

Kau terlihat tegar dari sini, serupa karang tiada gugusan, meski tampak kesusahanmu menenangkan ombak dan mengusir hujan, sebab bibirmu sesekali meletup-letup seperti umara menghafal doa agar sunyimu tetap lestari.


(27 Oktober 2009)

Buta Cinta

Duhai jiwa,

malu rasanya aku bercerita tentang cinta, sebab peraduannya begitu jauh tuk dijangkau anganku; aku melihatnya meski ia tak menampak; aku mendengarnya meski ia tak bersuara; inginku mengungkapkannya namun mulutku begitu kaku; inginku menghampirinya tapi gerakku tertahan.

Tertawalah, duhai jiwa_tertawalah karena kutahu kau kini sedang menahan geli jemariku berkata. kutahu kau sedang menganggap ku gila: jatuh oleh cinta buta entah karena siapa dan kenapa. Tertawa lamalah sampai khayalku berkeringat puas, sampai aku pulas penuh harap akan manis wajahnya di dalam mimpi.

Duhai jiwa,
ingatkah kau ketika musim merundung dimana langit menarik jubah pelanginya dan kita bermuram durja di taman sana sampai bayangnya lenyap perlahan, lalu kita beranjak menuju pengasingan: sebuah pesisir, tempat dimana kita menyimpan peti rahasia di dalam gemerisik pepasir yang jauh dari perhatian dan celoteh camar? Kau katakan, simpanlah kisah itu bak mutiara dalam tiram hitam dan kita kan kembali bila kelak ia bercahaya.

Betapa karang hanyalah sebuah kehancuran membuatku berkata geram: lemparkan saja ke laut sana, biarlah terbawa ombak sampai terhempas ke pantai tak bertuan.


(bersambung)


(04 Oktober 2009)

12 Februari 2010

pondok ini

Di sini, beribu roh melayang-layang, berkitar-kitar di perapian yang terbakar dari kayu-kayu sekeras tulang-belulang. Dindingnya tampak kokoh, meskipun cerobong telah padat dengan asap yang menjulang sampai ke langit dan mengurat keretakan hitam di alas membentuk halilintar. Pasangan bata-bata merah yang tersusun, membentuk benteng istana, serupa gerbang masuk menuju taman-taman kembang api. Ada beberapa yang terpajang padanya sebagai hiasan: bingkai yang serasi dengan lukisan diri, topeng-topeng berwajah mahluk-mahluk garang, bunga-bunga kering, dan sebentuk cinderamata bidadari seputih kapur bersayap pelangi. Juga tak ketinggalan sosok arjuna dan srikandi yang tegak berdampingan.

Pada bagian atas -menyamping ke sebelah kanan- dinding tergantung jam berjarum pendek dengan suaranya yang samar mendetak.
Juga cicak-cicak yang senang bersembunyi di belakangnya menanti mangsa.