Di sini, beribu roh melayang-layang, berkitar-kitar di perapian yang terbakar dari kayu-kayu sekeras tulang-belulang. Dindingnya tampak kokoh, meskipun cerobong telah padat dengan asap yang menjulang sampai ke langit dan mengurat keretakan hitam di alas membentuk halilintar. Pasangan bata-bata merah yang tersusun, membentuk benteng istana, serupa gerbang masuk menuju taman-taman kembang api. Ada beberapa yang terpajang padanya sebagai hiasan: bingkai yang serasi dengan lukisan diri, topeng-topeng berwajah mahluk-mahluk garang, bunga-bunga kering, dan sebentuk cinderamata bidadari seputih kapur bersayap pelangi. Juga tak ketinggalan sosok arjuna dan srikandi yang tegak berdampingan.
Pada bagian atas -menyamping ke sebelah kanan- dinding tergantung jam berjarum pendek dengan suaranya yang samar mendetak.
Juga cicak-cicak yang senang bersembunyi di belakangnya menanti mangsa.
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar