Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
25 Februari 2011
Kesunyian
Kurasa ada yang mendekat ke pembaringannya semalam entah sesosok apa. Sudah empat hari ia memang tak lelap tidurnya. Sudah lama juga bayangnya tak beranjak dari tempatnya. Igau, tangis, ratap, takut, kurasa hadir di sekelilingnya. Pikirannya entah di mana, juga hatinya yang tiba jadi manja. Mungkinkah ada sesosok atau malaikat yang kerap disebutnya sedang mendekat ke telinganya? Aku tak tahu. Mungkin kulit yang tipis dan rentan itu dapat menjawab tanyaku.
Tapi ia tetap memanggilku, mencengkram tanganku. Kuat sekali. Sekuat cengkraman seorang bayi.
(Ia ingin kutemani)
Suaranya yang kian parau, seperti dahaganya telah lama tak dibasuh kopi kegemarannya. Ia haus. Ia ingat itu. Tapi ia menginginkan susu malam ini. Kopinya sedikit saja, katanya.
Lalu pada gelas kesukaannya, aku tuangkan air hanya setengah dari tingginya, juga hanya semu-semu hangat airnya--sebab aku tahu lidah yang memutih itu hanya mau sekedarnya saja. Dan aku menyuapinya. Sembilan sendok yang sanggup ia teguk. Cukup, katanya. Gelas masih dalam genggamanku. Bias bulan menyelinap lewat jendela kamarnya.
Kupandang tirai coklat yang bergoyang; seekor cicak sedang berjaga-jaga di sana--meski tak kurasa ada nyamuk mengganggu kami di kamar hening ini.
"Kamu tidak pergi? Sudah siang begini kok tidak jualan?" lirihnya dengan batuk-batuk dan pandangannya menyempit.
Ada yang mengganggunya acapkali ia bicara. Masih kulihat kabut di matanya mengkatup. Nyala lampu tak beda bagai matahari dalam pandangannya. Bulan sudah meninggi malam ini.
Pukul dua sudah lewat. Embun-embun siap melukis dedaunan. Tapi tak lama berselang, gerimis menghapusnya, dan bau tanah pun menguap. Cicak di jendela kaca berlari lalu mengumpat di balik lukisan alam--yang menampakan jelas seorang yang termenung di bawah pohon di tepian danau itu--lalu memandang bapak yang nafasnya berubah sesak karna udara lembab sudah merambahi kakinya.
"Dingin," kata bapak dengan suara serak.
Ya, dingin sekali, Pa, kata hatiku. Aku melapisi lagi selimut yang tebal itu dengan sarung kesayanganku.
Hujan malam ini berhenti pada pukul tiga. Pada langit-langit kamar tampak sebuah lukisan seperti dari bongkahan es yang mencair, serupa tetesan air dari stalaktit dalam gua yang kosong dan hening. Beberapa laron bagai musafir yang tertahan di luar jendela mengetuk-ngetuk memanggil cahaya, seolah sanggup sayapnya memecahkan kaca. Nyala lampu begitu kuat menarik segala perhatian, juga seekor cicak yang dengan sekuat tenaga menghentakan ekornya--isyarat tak sabar untuk menyambutnya.
"Iya. Tunggu. Tungguuu. Iya... Di situ. Di situ ajaaa, ya?" ucap bapak tiba-tiba entah pada siapa. Matanya tertutup. Tapi tak lama ia membukanya dan menoleh ke samping kiri-kanannya.
Ia tidak melihatku. Ia kerap seperti itu. Bukan! Bukan karna matanya yang telah kabur. Tapi seolah jiwanya telah entah ada di mana.
Aku hanya terdiam. Mengusap bahunya, tapi ia tak merasa; menawarkan ini-itu tapi ia tak menghiraukannya. Sesekali kuusap dadanya dan kuberi doa-doa. Sesekali mata berkabut itu terbuka--bicara padaku. Kami bicara dari hati ke hati dengan degup jantung yang di catat Malaikat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mengunjungi ini, dan membaca kesunyian sejenak.
BalasHapus