Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.

07 Februari 2011

Litta



Tuhan,
Litta mohon,
jaga papa semoga darahnya dirindukan bagai hujan
semoga nafasnya seperti angin yang membawa bunga-bunga
semoga tubuhnya menjadi tanah yang subur

Tuhan,
apa doa Litta masih kurang?
papa sudah mengubur umurnya
sekarang Litta dan mama di bawah jembatan
pohon-pohon tua ditebang jadi patung hiasan

Memang,
Litta bukan seorang
teman mama pun tak bersedih lagi
ia suka tertawa melihat tugu pancasila
ia slalu ingin terbang dari atas jembatan pancoran

Tuhan,
untung tadi Litta mengamen di simpang jalan
uang dalam kantong permen cukup lumayan
karna mama batuk, Litta belikan jeruk sebuah

Tuhan,
mama bilang ingin pulang
Litta senang melihat senyum mama
lampu-lampu jalan memantul di matanya

Tuhan,
tapi Litta sedih
selimut ini dari bendera yang sudah usang
yang dibuang oleh orang yang sombong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar