Kau berdiri di sana, di atas linjak yang tak lagi asing kurasakan, menyondong badan menghadap selatan memagut bulan di langit sedikit terang kebiruan laut dan putih awan, begitu juga ke arah sesosok pulau kelam tempat karamnya pengaduan yang selalu menggema tanya, seperti terjal tebing di atas tumpukan karang tempat lelawa bersarang memekikan telinga, dimana kabut dinginnya turun ke kaki perbukitan lalu merayap pelan ke sendi-sendi pinggang sampai ke tengkuk leher, sampai kau biarkan hawa dingin teresapi tulang sulbi, sebab separuh hati telah pergi, seiring wajahmu beku tak lenyapkan haru.
Kau kini bagai pawang, dengan lemah menundukkan mata angin sampai rambutmu berpusar jelas di ubun kepala dan segera menjadi badai yang kan kau lepaskan dengan lantang bak auman singa raja ke tengah hutan liar peradaban, tempat keliaran yang kerap menerkammu dari belakang, guna menjinakan segala yang tergelar di mata dengan sorotan memusat ke kalbu, meski sekejap terlihat kaku bagai dalang yang menjiwai bayang setengah mati.
Hela nafasmu meranggas cepat menyusuri jalur nadi, seperti ingin cepat memanjat pohon jati untuk menambat tali jebakan kemudian menumbangkan lawan, meski kebiasanmu pada akhirnya hanya diam dan memberi kesempatan berkali-kali, bagai gunung merapi yang selalu tahan panas perut bumi sampai mereka keluar dari pulaumu yang sunyi.
Kau terlihat tegar dari sini, serupa karang tiada gugusan, meski tampak kesusahanmu menenangkan ombak dan mengusir hujan, sebab bibirmu sesekali meletup-letup seperti umara menghafal doa agar sunyimu tetap lestari.
(27 Oktober 2009)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
sunyi senyap....di alun sunyi tanpa gegap...
BalasHapustegar yang rapuh?....adakah lagi yang mesti ditempuh?
ketika jarak semakin jauh....