Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.

05 Mei 2010

Mengenang Pancasila dan 'UUD' (Ujung-Ujungnya Duit) (1)

Terkenang saat ku pertama kali mengikuti upacara kenaikan bendera, saat kelas satu di Sekolah Dasar. Luasnya lapangan rumput nan hijau dan hamparan embun-embun segar di setiap pucuknya bagaikan manikam yang turun dari ufuk menghiasi peradaban timur.
Beberapa ekor burung pipit yang mendarat meriahkan harmoni seolah tahu ada bebiji yang bisa mereka bawa pulang ke sarangnya. Meski tingkahnya bagai saksi yang menghafal wajah-wajah kesetian jiwa-jiwa hayati.

"Pancasila.
Satu: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dua: ....." (dan seterusnya)

Upacara selesai. Kami pun masuk ke dalam kelas dan menunggu apa saja yang kan terjadi. Selakunya anak kecil, aku suka akan sesuatu yang baru, juga dengan lembaran uang Rp.100,- berwarna merah bergambar badak bercula dua khas Ujung Kulong, yang saat itu baru 'dilepaskan'. Teman pertamaku tiba-tiba menghampiri tempat dudukku dan memberikannya padaku dengan percuma. Mungkin karena bapaknya menjabat di satu lembaga tinggi negara. Atau mungkin maksudnya agar aku mau untuk menjadi teman dekatnya. Ah, entahlah, yang pasti aku senang bukan karna uang itu, tapi karena aku mendapatkan seseorang yang ingin berteman. Maka itu, uang darinya aku jadikan sebagai kenangan yang tidak akan ku tukar ke pedagang. aku selipkan di antara halaman buku baru yang belum kutulis setitik pun, beserta dengan bekas serutan pensil kayu. "Bukan...! aku tahu, badak tidak mungkin makan kayu serutan pensil."

Ornamen dalam ruang kelas juga membekali ingatanku; beberapa gambar wajah para pahlawan nasional dan pahlawan revolusi terbingkai rapih dari kayu dan kaca bening yang dapat memantulkan cahaya ke sanubari anak bangsa, terpajang di sekeliling dinding kelas. Juga poster kecil bergambar si Budi dan Wati (kakak Budi) yang sedang asik bermain kerbau di sawah. Sementara pada dinding muka-tepat di atas papan tulis-terpajang foto Pak Suharto (presiden RI yang juga dinobatkan sebagai bapak pertanian nasional) bersanding dengan Pak Umar (Umar Wira Hadi Kusuma) dalam bingkai ukiran berwarna emas.

Betapa matahari pagi kurasakan sampai hangat ke bangku dan meja kayu. Beberapa batang kapur putih yang kering di meja guru dan papan tulis hitam seakan menanti peraduannya. Juga embun-embun di pelepah dedaun pisang di halaman samping kelas yang kelamaan mulai terhisap.

Intip-intip para orangtua saling bergantian penuh perhatian mengamati anak-anaknya dari balik jendela kaca. Sorot matanya seolah bicara menaruh harap agar anak-anaknya dewasa kelak menjadi manusia berdaya guna. Ibuku, betapa senyumnya tulus bahagia.

Kelas dimulai.

"Selamat pagi, bu guru...!" jawab serempak para siswa.

Absensi pun dibuka. Setiap siswa dipanggil menurut abjad terawal sebagai salam kenalan pertama.

"Saya, bu guru." jawab siswa pertama dengan suara kurang tegas sambil mengacungkan tangan kewajarannya.

Bu Maryam.
Ya, dialah wali kelas pertama kami. Umurnya sekitar empatpuluh tahun. Rambutnya agak lebat dan memutih, dari jauh tampak seperti debu-debu kapur telah menempel di rambutnya sekitar belasan tahun. Meski ia berkacamata, ia amat perhatian. Dia adalah sesosok guru yang baik dan bijaksana. Ia kerap memberi makanan pada kami saat kami tak membawa uang untuk jajan.
Namun sayang. Ia membimbing kami hanya selama satu caturwulan. Ia diberhentikan mengajar karena terjerat banyak hutang.


"Dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab"


Waktu sangat terasa sampai menghantarkanku ke jenjang tingkat dua.


(bersambung)


(03 November 2009)

1 komentar:

  1. dan tahukah engkau...
    pernah suatu ketika aku parkir di depan FO di Bogor...
    sang juru parkir berkata:
    "sila pertama dibaca: KeUangan yang maha Esa!".

    BalasHapus