"ayo..! giliranmu kini bersanjak."
"kau saja."
"ayolah, kutahu masihlah banyak kata yang tersisa."
"aku..."
"ayolah... tidakkah kuncup bunga yang pernah terbesit dalam pikiranmu itu cukup rupawan? Di mana ia sekarang?"
"ia sedang terjerembab di antara musim dan ratusan pasang mata angin yang melirik lemah akarnya."
"bunga yang malang, sekejap menawan di halaman muka serupa senyum dicuri pandang."
(14 Oktober 2009)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar