
Dear Eve,
Senja lalu aku ke sana. Tapi rumahmu kosong tak ramai seperti dulu. Pikirku, kau telah pergi dari sana atau sesuatu yang menyebabkanmu pergi begitu saja.
Ada jejak-jejak masih dedar berwarna merah, biru, jingga dan unggu--seperti lembayung terentang di gerbang malam--juga jejak hitam dan aroma tubuh yang masih bergentayangan setinggi badan yang seakan mengajakmu cepat pergi dari sana.
Lama aku terdiam, tegak di tengah ruang tanpa temu isyarat yang lain. Kuhempas nafas sampai langkah keluar. Kutulis tiba-tiba beberapa bait kata di dinding muka rumahmu--agar kau tahu hadirku. Kutulis dengan kapur merah sisa yang pernah kau gunakan bila sedang gumam atau berduka.
: aku datang mengaduh
pikirku satu dari mereka padamkan cahayamu
merampas riangmu dari persemayamannya
di hatiku kini bersenjata
katakan dimana persembunyian srigala
biar kau damai dari koyak taringtaring cinta
akulah raja para singa !
bicaralah walau sebait
keindahan tetap ada di bajumu
penuhilah kantungkantung seperti dulu
singkap jubah rundungmu, jadi mawar musim ini
tataplah rembulan langsat
wajahmu tak semerah jambu
diantara samudra dan langit,
tingkaplah cinta berpijak pada angin
aku bukanlah romeo
kutahu beda pengembala dan ksatria
kumengenal cinta dari liur setiap perkataan
bangkitlah duhai pijar
seperti kulihat dulu kau sulut bukitbukit
gairahmu menoreh tiap daun jadi perak
maaf hadirku berserak amarah
telah lama tanyaku membencah kepala
smoga pikirku salah
; kau melabuh seribu katakata bisu
emotionally yours
Tidak ada komentar:
Posting Komentar