pada suara, aku bicara
pada hati, ia tanpa kata
pada telinga, ia mendua
pada jiwa, ia mengaduh
pada jasad, ia mengajak
pada bayang, ia berteman
pada malam, ia usir bulan
pada bayu, ia berseteru
pada api dan kayu, ia rela menjadi abu
pada tanah dan air, ia serupa randu
pada hutan, ia rawan tercumbu
pada angin, ia tergerai belantara
pada musim, ia sesosok hantu
pada batin, aku berlaga tak tahu
( "Aakh...!! aku harus bagaimana??" )
(16 November 2009)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
lha maunya mau bagimana?...
BalasHapus