Bagi mata yang terang, Cinta adalah keajaiban cahaya abadi, meski dalam wujud kasar ia adalah bentuk dan nafs.
Dalam konteks ini, Rumi menerangkan hakikat keindahan secara ringkas dan jelas: Cinta adalah setetes air yang berasal dari Lautan yang tak berwatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua keindahan berasal dari dunia lain, yang ada di sini hanyalah kesementaraan dan pinjaman. Keindahan yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan.
Adapun dalam beberapa baitnya, yaitu:
Keindahan manusia bagai sepuhan--tapi mengapa kekasihmu yang menawan menjelma seekor keledai tua?
dia dulu bagaikan malaikat, tapi kini seperti setan, karena keelokannya adalah sesuatu yang terpinjam.
"Keindahan wajah rembulan dunia mencurinya dari Keindahan Kami: mereka mencuri Keindahan dan Kebaikan-Ku.
Akhir wajah rembulan sang kekasih menjelma wajah jerami. Itulah keaadan pencuri-pencuri kehadiran kekuasan-Ku.
Hari telah datang, oh mahluk debu! Kembalikan apa yang kau curi! Oh kekasih yang manis, mungkinkah debu memiliki kekayaan dan keindahan?"
Manakala malam menyelubungi matahari, planet-planet mulai berkoar. Kata Venus, "Ketahuilah bahwa segalanya milikku!" Bulan menyahut, "Ia milikku!"
Yupiter mengeluarkan emas murni dari kantongnya; Mars mendesak Saturnus "Kenakan pisauku yang tajam!"
Merkuri duduk di depan: "Aku adalah pemimpin dari para pemimpin. Langit adalah milikku dan seluruh konstelasi pilar-pilar."
Saat fajar Matahari memancarkan sinarnya dari ufuk timur, ia berkata, "Oh para pencuri! Ke mana kalian pergi? Kini segalanya milikku!"
Jantung Venus tertusuk dan leher rembulan pecah; pancaran wajahku mengeringkan Merkuri lalu menjadikannya beku.
Cahaya Kami menghancurkan Mars dan Saturnus; menyedihkan, Yupiter berteriak, "Musnahlah kantong emasku!"
Alam semesta menunjukan Keelokan Dikau! Tujuan adalah Keindahan Dikau--segala yang lain adalah dalih.
Sungguh, betapa Rumi amat menafsirkan segala sesuatu amat jernih dan mendasar. Semoga dengan "penjelajahannya" menghiasi perbendaharaan kita.
"Duhai Matahari dan Rembulan; Duhai Zuhara, duhai Bunga-bunga..."
(18 November 2009)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar