Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
05 Mei 2010
Kasidah Hati
Ibuku; laksana tumbuhan, aku adalah benih harapan esok hari yang tumbuh subur diatas pekarangan gembur miliknya. Ketika kulupa daratan ia hanya berpesan: Nak, janganlah sampai kau tenggelam atau masuk lubang. Begitu pula nenekku menambahkan: Bila tak kau temui seperti mereka, spt jeruju, kiara atau angsana, pahamilah perbedaan sbg kesatuan nalarmu. Ucapnya serisih sirih dalam lumatannya, sambil menunjuk beberapa pohon ke halaman muka milik tetangga sebelah.
(Tetapi, nek, sekapur sirihmu amat berlebihan untukku. Lagipula aku bukanlah seorang perempuan atau yang gemar merangkai bunga. Berilah aku selain dari itu; jadikan langit dan cakrawala sbg sampul penjilid nalarku. Pintaku sesepoi hati menjunjung langit jelang petang.)
waktu berlalu sampai tamanku kian riuh dan langit berpadu menebar seru. Saat itu aku melanjak berfikir semoga wajar bila lebih mengenal ttg sebuah rahasia dari setiap musimnya; mawar di musim panas, anggrek d padang semi dan dahlia di musim dingin dengan krisnanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar