Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.

12 Februari 2010

mimpi

"Aku akan membunuhmu."


"Aaaaakh..!!" Matanya seketika terperanjat. Suara hentaknya sampai ke luar jendela. Tirai di sana bergoyang bagai sesosok baru saja melarikan diri dari kamarnya.

Dihelanya nafasnya yang terengah dalam-dalam. Diperhatikan sekeliling kamarnya yang remang. Terang purnama tampak jelas menyondong ke arahnya. Juga reranting kering sebatang pohon di luar kamar yag kerap mengetuk-ngetuk kaca jendela bila angin tiba-tiba menerjang.

Lalu matanya mengarah pada sebuah buku catatan yang terbuka di atas meja tempat dimana ia selalu mengarang sampai lelah memaksanya ke pembaringan dan meninggalkanya begitu saja tanpa sempat menutupnya. Ia perhatikan penuh seksama untuk kedua kali, meski jaraknya hanya beberapa rentang lengan darinya. Sebab pandangannya sulit menembus remang.

Nafasnya lega kini - meski baju tidur yang ia kenakan amatlah tipis - tapi rasa menghantui tetap membuatnya bergetar untuk beranjak dari ranjang sekedar hanya untuk menyalakan lampu dan membasuh muka.

Tapi ia berjalan. Ia perlu melakukan apa kata hati.

Langit-langit putih akhirnya menyebarkan terang dari lampu yang memijar cukup untuk sebuah kamar. Dinding biru tampak serasi dengan segala dekorasi juga warna kelambu abu-abu.

Syukurlah tidak ada apa-apa, pikirnya, sambil berlalu untuk...

"Aakh...!" Kakinya tak sengaja menginjak pena yang membujur di atas karpet. Lalu ia mengambilnya. Segaris bercak darah kini tertoreh di telapaknya. Ia pun tiba-tiba terpaku. perasaan, dan pikirannya kembali terganggu, seperti seorang sedang terburu. Namun, matanya selalu tertuju pada buku catatan itu.

Ia berjalan. Pelan. Pelan sekali. Menuju catatan itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, ke samping, bahkan ke atas tempat lampu pijar tergantung. Senyap. Hening. Tak berangin. Kecuali detak jantungnya yang tambah gaduh ke telinga.

Sekelebat bayang sesekali merayap di bawahnya tak tertangkap oleh mata. Juga lembar per lembar halaman membalik catatan tanpa sepengetahuannya, sampai akhirnya bayang itu menghilang cepat saat langkahnya berhenti di depan meja.

"O my...god..!" dilihatnya sebaris kalimat tulisannya yang digarisi oleh darah; sebaris kalimat dendam yang belum ia tujukan kepada siapa dalam karangannya: "aku akan membunuhmu!!" Dan seketika, darah menjelma menjadi bayangan yang mencengkram tangannya dan memaksanya untuk masuk ke dalam halaman.

"Tidaaaaak...!!" rontanya keras, dan ia berhasil lepas. Tubuhnya seketika terperanjat, dan matanya kembali terbelalak untuk kedua kalinya.

Ia terbangun. Ia terheran. Nafasnya terengah. Matanya mengelilingi ruangan, sampai akhirnya ingatannya tertuju ke catatan di atas meja itu. Dan ia pun coba hendak beranjak.

Namun, kali ini jarinya tergurat oleh pena yang kini tergeletak di samping tidurnya.

Ia semakin terpaku kini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar