Air mengenangi dataran tinggi.
Angin menuruni lembah nestapa.
Hantu-hantu bermukim di gedung-gedung tinggi.
Jiwa meratap di kolong gugusan jembatan.
"Ayo terbang, pak! Terbang bagai elang.
Cepat kokoh-tinggikan benteng sebelum ada serangan! Atau sebelum airbah menerjang.
Ajaklah mereka juga!
: Para ksatria dan walimana
Bawalah kemana saja!
Dudukan derajatnya di kendaraan mewah secepat elakkan!
Lupakan saja darah merah dan tulang putih uzur ibu pertiwi
; sebentar kan masuk liang kubur.
Oh negeri tak bertuan paman sam,
Langitmu biru menjual-beli saksi.
Gedung-gedung tinggimu anak tangga surga.
Gorong-gorongnya istana para pejalang.
Elang dan dan limapuluh bintangmu amat menawan."
(31/01/10. Bandung banjir, euy)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar