Secangkir wedang jahe merah dan roman picisan. Amboi... Nyiur di sana serasa sedang bercumbu bayang dengan cahaya bulan. Aduhai... Betapa hangatnya dada ini mengepulkan nafas berasap rokok, segairah kabut mengusap pegunungan himalaya dan abunya selembut gelora sahara, dimana kawahnya merekah semerah gincumu membekas di pinggir cangkir ingatanku mereguk bersama, hingga terasa tak ada lagi yang mengendap_meski sungkan akan sisakan satu tegukan awalnya.
Suara derik penghuni malam mungkin ada benarnya. Begitu juga laguan burung hantu yang menyelinap menghentak menggretak membuat perseteruan di antaranya. Bulan di balik awan kelamaan enggan menyaksikan. Betapa telinga entah berpihak ke mana. Betapa haus dahaga seteguk demi seteguk, sepanjang rokokku belum tuntas dijilat bara.
"kau mengubah cahaya bulan menjadi ampas kehilafan."
"aku..."
Semilir dedahan daun adakala melenakan alasan tuk kabur hindari sesal, layaknya seorang bergantung sandarnya di bawah pohon kewajaran berharap dilupakan.
Cahaya pagi berbuah risalah tentang tinggi hasrat tadi malam, dimana yang menjebak pikiran sampai terjerat rumbing mimpi.
Aduhainya 'cubitan' nakal itu.., lebih dari sekedar film india; kau lingkarkan selendang sutra merahmu ke leherku di bawah pohon yang buahnya semanis cerita surga.
Oh matahariku yang membangkitkan gairah ingatanku, maafkanku yang tak pernah jera...
(10 November 2009)
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar