gendang kecapi lama sudah tiada bertalu
rebab disana membisu jua
sunyi
hening ditusuk
nyaring tong-tong dipalu
sepi ronda tiada irama
malam diburu dengus nafsu
jejaka mencumbu gadis hilang malu
separuh usia belasan nista
berpadu mesra di medan laga pestafora
nada-nada gila cubitan ketagihan
tubuh kenyal gempal pinggul
pecah resah dalam dekapan
merajuk janji ke nirwana
semalam suntuk disudut gelap
berkali-kali membakar hati
tiada jurai percikan airmata
tiada musuh dalam selimut
terbaring lesu wajah hilang ayu
tanpa baju akan kembali
temui mimpi lupakan pagi
sebelum ajal menunggu dimalam nanti
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar