terhisap
ujung lidah api di pucuk jari ibu pertiwi
rambatnya cepat bak cerutu wiracarita
: asapnya membumbung
ke dada, ke lambung
menusuk kembang-kembang parahiyangan
: wijayakusuma, sedapmalam hingga anggrekbulan
sesak
tumbang
mati
meski sesaat
; pepohon terganti
tulang rawan hidung lupa harum
: kenanga, kemboja, anyelir sampai merempah
tembakau dibiarkan tua lapukan
jaman tongkat kayu tak lagi dambaan
; jantung khatulistiwa ternoda kabut kelam
hijau darahnya dihitam sekujur bibir
kenikmatan asap sarat kelumpuhan
Prolog Hati
Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan.
Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi.
Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar.
"Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga."
Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar