Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.

11 Agustus 2013

LINNERS






"Why Linners?"


Definition of Liner and Linner --and the similar to pronounce.

Liner :
One that draws or makes lines; a protective covering that protects an inside surface; A material used as a lining (Clothing, Personal Arts & Crafts / Textiles); A piece of cloth that is used as the inside surface of a garment; A large commercial ship (especially one that carries passengers on a regular schedule)



Linner[s] (noun) : A meal between lunch and dinner; A meal eaten late in the day, but early in the evening as a combination of lunch and dinner; The combination of breakfast and lunch.



Another similar word / pronounce to:

1. Linear :
Mathematical technique used in computer modeling ( simulation) to find the best possible solution in allocating limited resources ( energy, machines, materials, personnel, space, time, etc)

2. Linger
To be slow in leaving, especially out of reluctance; tarry; To remain feebly alive for some time before dying; To persist: an aftertaste that lingers; To proceed slowly; Saunter; To be tardy in acting; procrastinate; To pass (a period of time) in a leisurely or aimless manner; To remain just alive for some time prior to death; To persist or continue, esp in the mind; . To dwell in contemplation, thought, or enjoyment; Move to and from.


Jadi--
kesimpulannya : LINNERS (Letter Inner Prose), suatu bentuk sastra prosa; Sebuah sebutan (yang kubuat, kuserap dari beberapa arti kata).



--Fajar Alayubi. 05/08/13



http://youtu.be/bztDDnDi25k

http://www.youtube.com/watch?v=C4sZ8nE8P8E&feature=youtube_gdata_player


13 Mei 2013

22 Oktober 2012

Scenes


(Mengenang 22 Oktober 2010 - 22 Oktober 2012)
Chapter Before



Dua tahun berlalu sudah. kukenakan jubah dan melangkah—ke dunia yang sulit terjamah; tersingkir dari cahaya menjadikan aku seorang pengembara: menyingkap tabir dalam dada—demi rusuk pernah terkremasi.

Meniti prahara kesemuan, menumbang jiwaku dalam hutan, seakan kutukan ingin membekam sejatiku dalam diam, jadi fosil karangan di lumpur mematikan.

Bayang yang kupapah, amarah kurundung berbalut jubah—agar tak seorang tahu: pijar apa yang kubawa dapat membutakan mata.

Hatiku yang terjajah, menjejal duri dari kaki, merajam otak untuk jadi ular berkepala dua: haru dan duka berkelit rebutkan sisa usia.

Hujan yang kupuja terlupa. pohon-tua akarnya menyerap prasangka; buahnya tersesap, menjalar, sampai airmata bertetes darah.


Pada pelupuk yang linang fatamorgana; belati cinta kulihat begitu dekat—mengumpat di balik pohon syala. Ada jejak-jejak kaki membatu—sebentuk prasasti percumbuan yang diriwayatkan gagak malam. Sekoyak kain tanggal di ranting sesira.

Rembulan masih slalu kuperam kisahnya. Kebuasanku merupa srigala pilu: mengoyak serapah kata, mencabik rahasia tak kasat mata. Kugretak batu-batu dari lereng yang memantul cahaya—agar kudengar gentar penista cinta.

Musim yang seakan memusuhiku, merebut logika tentang sekotak rahasia. Kuterjang badai, ku tak tunduk akan hujan.

Dari sahara kutersiur ke rawa-rawa. Mataku membuta, lumpur hitam menelan raga. Nafasku entah lari kemana. Pijar yang kujaga di dada tenggelam bersama.

"where am i?"

***

(Before)

Katakan pada bintang,
pecahlah yang mengukung tubuh
angkat jiwaku jadi gemawan hitam
biar tumpah hujan, biar kerlip berserakan

Dalam ceruk musim yang panas,
tempatku terkubur bersama sisa lumpur
pada tepi kuimpi
: hujan seribu tahun

Ikrarku yang tertambat akar pohon-tua
bak mantera kutulis di daun-daun tika musim gugur
: jadikan aku raja malam cakrawala

Ngengat-ngengat dan yang bercahaya
dari mihrabnya membumbung nyala
kepik dan jangkrik mentasbih sebuah doa

Guntur tak lama tandang jelang malam
tubuhku bergenang hujan, serangga-serangga tetap di batang tumbang
mataku; mataku masih pejam

Gemericik terasa menghidupkan
angin berdansa di permukaan
adakah engkau duhai 'peri' kan datang membangkitkan?

Gemawanku jadi serat-serat tipis
bintang-bintang jelas bagai serpihan
bintang-kala membuka cerita

Kabut tipis membungkus cahya bulan
pelangi yang kemuning mencelup dalam ceruk
danauku hadirkan sosok dirimu

Jentera dalam genggam, kunang-kunang dalam kaca
engkau datang lewati semak-semak berbau basah
"engkaukah di dalam genang sana?"

Nyala jenteramu menembus hingga dasar
cahaya menyusur seluruh wajahku
ingatanmu kembali lekat dan mendekat
"buka matamu"

(bersambung)

22 November 2011

Padang Bulan di Pantai Panjang



Dear, Ana...

Bulan merah jambu yang kubawa dari pantaimu kuletakan baik-baik di atas rumahku; sedikit arakan dari awan membuatnya lebih merah tersanding langit hitam tak bertepi. Seusai hujan petang, kuhirup dalam- dalam: harum tanah yang pernah kupijak dari penjemputanmu sampai ke pasir yang kau gurat bibirnya yang mencium matahari tenggelam.
Petang itu kau datang. Tak sabarku kau bawa akhirnya ke pantai. Setibanya, kau ajak pepasir tuk bicara diam-diam; kulihat ada yang hendak kau pendam dekat sebatang pohon yang tumbang dimana ombak dari kakiku tak bisa diam menggali rasa penasaran. Matahari tika itu enggan pejam warnanya di atas laut yang biru.
Dari jauh kuterpaku, memandangmu yang membisu. Seorang nelayan yang sendirian dengan jalanya, setengah dadanya tenggelam masih bertahan mencari harapan --dekat sebuah perahu karam yang jelas sekali rusuk- rusuknya. Kau mengalihkan perhatianku untuk mendekati mereka, dan kau banyak bertanya padanya tentang apa yang telah didapatnya --sebelum kududuk bermuram di geladak perahu yang kosong. Seekor ikan yang berhasil lepas dari jala, kita temukan sedang bertahan di atas pasir ketika tiba saatnya kita hendak pulang. Kau masih ingatkah itu semua?
Oktober itu memberi cerita dari antara pengalan musim semi dan hujan yang kita jumput di Pantai Panjang -- yang katamu pasirnya putih-menawan dan lincah ombak- ombaknya. sesaat ketika kita titipkan jejak pulang, kumenoleh ke belakang, mencari di mana kau letakan sebatang ranting yang telah kau jadikan ia sebagai kuas yang kering untuk melukis dan menulis pada pepasir; kumenyangka: ombak telah berhasil mendapatkan penasarannya yang terbantu bulan yang suam.
Di sana tak ada camar, di sana sedikit sekali orang- orang. Pantai itu membuat longgar pikiranku akan sepi yang bisa kutuang kapan saja sepenuh hati --selaksa ombak berkata bergulung-gulung melewati garis pantai dan merangkum jejak-jejak kita. Petang itu kurapal baik-baik --meski tak kuingat kapan sebatang ranting yang kau lepas digenggam ombak kemudian.

25 Februari 2011

Kesunyian



Kurasa ada yang mendekat ke pembaringannya semalam entah sesosok apa. Sudah empat hari ia memang tak lelap tidurnya. Sudah lama juga bayangnya tak beranjak dari tempatnya. Igau, tangis, ratap, takut, kurasa hadir di sekelilingnya. Pikirannya entah di mana, juga hatinya yang tiba jadi manja. Mungkinkah ada sesosok atau malaikat yang kerap disebutnya sedang mendekat ke telinganya? Aku tak tahu. Mungkin kulit yang tipis dan rentan itu dapat menjawab tanyaku.

Tapi ia tetap memanggilku, mencengkram tanganku. Kuat sekali. Sekuat cengkraman seorang bayi.

(Ia ingin kutemani)

Suaranya yang kian parau, seperti dahaganya telah lama tak dibasuh kopi kegemarannya. Ia haus. Ia ingat itu. Tapi ia menginginkan susu malam ini. Kopinya sedikit saja, katanya.

Lalu pada gelas kesukaannya, aku tuangkan air hanya setengah dari tingginya, juga hanya semu-semu hangat airnya--sebab aku tahu lidah yang memutih itu hanya mau sekedarnya saja. Dan aku menyuapinya. Sembilan sendok yang sanggup ia teguk. Cukup, katanya. Gelas masih dalam genggamanku. Bias bulan menyelinap lewat jendela kamarnya.

Kupandang tirai coklat yang bergoyang; seekor cicak sedang berjaga-jaga di sana--meski tak kurasa ada nyamuk mengganggu kami di kamar hening ini.

"Kamu tidak pergi? Sudah siang begini kok tidak jualan?" lirihnya dengan batuk-batuk dan pandangannya menyempit.

Ada yang mengganggunya acapkali ia bicara. Masih kulihat kabut di matanya mengkatup. Nyala lampu tak beda bagai matahari dalam pandangannya. Bulan sudah meninggi malam ini.

Pukul dua sudah lewat. Embun-embun siap melukis dedaunan. Tapi tak lama berselang, gerimis menghapusnya, dan bau tanah pun menguap. Cicak di jendela kaca berlari lalu mengumpat di balik lukisan alam--yang menampakan jelas seorang yang termenung di bawah pohon di tepian danau itu--lalu memandang bapak yang nafasnya berubah sesak karna udara lembab sudah merambahi kakinya.

"Dingin," kata bapak dengan suara serak.

Ya, dingin sekali, Pa, kata hatiku. Aku melapisi lagi selimut yang tebal itu dengan sarung kesayanganku.

Hujan malam ini berhenti pada pukul tiga. Pada langit-langit kamar tampak sebuah lukisan seperti dari bongkahan es yang mencair, serupa tetesan air dari stalaktit dalam gua yang kosong dan hening. Beberapa laron bagai musafir yang tertahan di luar jendela mengetuk-ngetuk memanggil cahaya, seolah sanggup sayapnya memecahkan kaca. Nyala lampu begitu kuat menarik segala perhatian, juga seekor cicak yang dengan sekuat tenaga menghentakan ekornya--isyarat tak sabar untuk menyambutnya.

"Iya. Tunggu. Tungguuu. Iya... Di situ. Di situ ajaaa, ya?" ucap bapak tiba-tiba entah pada siapa. Matanya tertutup. Tapi tak lama ia membukanya dan menoleh ke samping kiri-kanannya.

Ia tidak melihatku. Ia kerap seperti itu. Bukan! Bukan karna matanya yang telah kabur. Tapi seolah jiwanya telah entah ada di mana.

Aku hanya terdiam. Mengusap bahunya, tapi ia tak merasa; menawarkan ini-itu tapi ia tak menghiraukannya. Sesekali kuusap dadanya dan kuberi doa-doa. Sesekali mata berkabut itu terbuka--bicara padaku. Kami bicara dari hati ke hati dengan degup jantung yang di catat Malaikat.