Prolog Hati

Berumbai, berpautan, berpilin-pilin: ikal rambut dan panjang usia; sehasta hingga beberapa lagi. Adalah nilam sebuah hikam, adalah dalam perbendaharaan. Adakah idam berpencar, oh entah--oh entah bila merapat pada hijab; jiwaku halim bagai serabut merentang panjang lengan. Bulan bagai bara siap padam, penuhi guman setangkup hangat kuku; selaksa mimpi pengangsir dongeng malam--menimang bayang sebulir biji sawi. Menyisir angin di hadapan nyala lilin, semakin dengung kepak seekor ngengat; mabuk mengecap kekhusyuan hingga sayapnya rapuh terbakar. "Duh, syamsi yang terpagut lautku dalam sewindu; kidung bagi tiramku; seribu kuntum bagi salatin di tamanku, setangkai imbalan sehaus tujuh surga." Serangkai jalan membenam jejak menuju lumbung seberang pematang; santun pahatan dinding cadas, cucur keringat mendulang manikam: duh, tanah yg tak segembur yang terkira; seluas sahara sejumput sabana.

22 Oktober 2012

Scenes


(Mengenang 22 Oktober 2010 - 22 Oktober 2012)
Chapter Before



Dua tahun berlalu sudah. kukenakan jubah dan melangkah—ke dunia yang sulit terjamah; tersingkir dari cahaya menjadikan aku seorang pengembara: menyingkap tabir dalam dada—demi rusuk pernah terkremasi.

Meniti prahara kesemuan, menumbang jiwaku dalam hutan, seakan kutukan ingin membekam sejatiku dalam diam, jadi fosil karangan di lumpur mematikan.

Bayang yang kupapah, amarah kurundung berbalut jubah—agar tak seorang tahu: pijar apa yang kubawa dapat membutakan mata.

Hatiku yang terjajah, menjejal duri dari kaki, merajam otak untuk jadi ular berkepala dua: haru dan duka berkelit rebutkan sisa usia.

Hujan yang kupuja terlupa. pohon-tua akarnya menyerap prasangka; buahnya tersesap, menjalar, sampai airmata bertetes darah.


Pada pelupuk yang linang fatamorgana; belati cinta kulihat begitu dekat—mengumpat di balik pohon syala. Ada jejak-jejak kaki membatu—sebentuk prasasti percumbuan yang diriwayatkan gagak malam. Sekoyak kain tanggal di ranting sesira.

Rembulan masih slalu kuperam kisahnya. Kebuasanku merupa srigala pilu: mengoyak serapah kata, mencabik rahasia tak kasat mata. Kugretak batu-batu dari lereng yang memantul cahaya—agar kudengar gentar penista cinta.

Musim yang seakan memusuhiku, merebut logika tentang sekotak rahasia. Kuterjang badai, ku tak tunduk akan hujan.

Dari sahara kutersiur ke rawa-rawa. Mataku membuta, lumpur hitam menelan raga. Nafasku entah lari kemana. Pijar yang kujaga di dada tenggelam bersama.

"where am i?"

***

(Before)

Katakan pada bintang,
pecahlah yang mengukung tubuh
angkat jiwaku jadi gemawan hitam
biar tumpah hujan, biar kerlip berserakan

Dalam ceruk musim yang panas,
tempatku terkubur bersama sisa lumpur
pada tepi kuimpi
: hujan seribu tahun

Ikrarku yang tertambat akar pohon-tua
bak mantera kutulis di daun-daun tika musim gugur
: jadikan aku raja malam cakrawala

Ngengat-ngengat dan yang bercahaya
dari mihrabnya membumbung nyala
kepik dan jangkrik mentasbih sebuah doa

Guntur tak lama tandang jelang malam
tubuhku bergenang hujan, serangga-serangga tetap di batang tumbang
mataku; mataku masih pejam

Gemericik terasa menghidupkan
angin berdansa di permukaan
adakah engkau duhai 'peri' kan datang membangkitkan?

Gemawanku jadi serat-serat tipis
bintang-bintang jelas bagai serpihan
bintang-kala membuka cerita

Kabut tipis membungkus cahya bulan
pelangi yang kemuning mencelup dalam ceruk
danauku hadirkan sosok dirimu

Jentera dalam genggam, kunang-kunang dalam kaca
engkau datang lewati semak-semak berbau basah
"engkaukah di dalam genang sana?"

Nyala jenteramu menembus hingga dasar
cahaya menyusur seluruh wajahku
ingatanmu kembali lekat dan mendekat
"buka matamu"

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar